Pengalaman Interview Kerja di Mickinsey Indonesia
Terkadang
melihat orang ideal menggunakan baju kerja ala Suit and Tie, menarik perhatian
dengan cara berbicara dan perangai nya. Sepertinya menjadi konsultan kelihatan
“Borjuis”. Apalagi background hidupku berasal dari kota kecil, atau malah
kabupaten yang banyak orang tidak pernah dengar nama itu, pasti orang-orang di
kampungku lebih memandang keluarga kami ya karena menggunakan jas jauh lebih
dipandang daripada pengecer daging di pasar, walaupun kadang penghasilan mereka
berjumlah sama.
Pengalaman
“interview”, iya hanya interview di konsultan bisnis ternama. Yang jadi
pelajaran bahwa sebetulnya what our fear itu hanya di dalam otak kita saja. Ini
mau cerita tentang kegagalanku saja.
Waktu itu,
sekitar pukul 10 pagi dengan kondisi sedang di kantor (waktu itu sudah kerja)
ada seorang wanita berlogat India menelpon, “Good morning, this is ******* from
McKinsey”. Ternyata dia mau invite interview dan dia di KL, untuk keesokan
harinya yang mana esok harinya adalah National Holiday. Terbayang kan, National
Holiday saja mereka masih kerja, I imagined working in Consulting Firm is less
sleep, life and vacation. Karena memang kebetulan manager nya sedang di
Indonesia, makanya aku OK aja invitationnya. Ngeliatin IG yang sudah bekerja
disana, McKinsey dan BCG udah terbayang kehidupan mereka, No Life.
Karena jujur
saja, terlalu excited makanya langsung approve invitation-nya meskipun waktu
persiapan sangat minim. Review CV, belajar business case, dan persiapan
interview memang berat. Memang tidak maksimal belajar nya, tapi tidak masalah,
interview must go on.
Oh ya, image
McKinsey dari aku personally itu “mengerikan”. Kalau dilihat dari teman-teman
yang disana, profile mereka beyond amazing. Mungkin kalian tahu lah requirement
mereka dan orang-orang seperti apa yang bisa masuk McKinsey. If you guys are
studying at Indonesia’s top tier school with outstanding profile with sequences
achievement and organizational experience, pasti pede aja sih daftar ke
McKinsey. Dan aku kalau tidak salah baru sekali daftar di McKinsey, untuk BCG
sudah ke sekian kali dan tidak ada respon apapun. Sampai akhirnya hampir
menyerah, ya karena sadar diri.
Biasanya
requirement yang mereka butuhkan GPA diatas 3.7 from top tier university dan
prestasi lainnya. Tapi jangan salah, if I see the requirement I will not be
included into their bucket. Do not be worry, just apply it. Coba saja, toh
tidak ada rugi nya. If you guys one of my friend who knows my GPA or major
background, sometimes you’ll be laughing out loud to know that I am invited by
this firm. This is an evidence that there is no limitation to you all, kalau
memang mau coba-coba break the limit or limitation. Ternyata mereka tidak
se-mengerikan itu kok. Jangan pedulikan perspectives atau stigma kalau mau
apply ke McKinsey harus manusia sempurna all the way they have. Atau tidak
perlu McKinsey, another something big tidak perlu khawatir.
Banyak stigma
hadir di masyarakat (mahasiswa khususnya):
1. Harus top
tier university. Mostly memang fresh graduate di ambil dari kampus-kampus
bergengsi ini, tetapi banyak yang experience mereka dari kampus swasta di
Indonesia.
2. GPA >
3.7. Atau 3.5 lah, kalau 3.7 terlalu lebay ya. Tetapi memang mereka mengambil
mahasiswa-mahasiswa dengan GPA diatas rata-rata. Ini simply karena ya memang
konsultan harus lebih pintar daripada client, inilah kenapa McKinsey mencari
kandidat top tier di kampusnya. Karena lucu juga kalau konsultan nya tidak
lebih pintar daripada client nya. Let say misal aku kerja di Pertamin* tetapi
konsultan yang handle project nya adalah orang yang dulu di kampus terkenal
awur-awuran dengan tidak ada prestasi atau academically in trouble.
3.
Hebat-hebat. Karena McKinsey konsultan nge top, pasti isinya orang ngetop. But
I believe someday orang-orang yang dibawah standar bisa masuk ke kriteria
mereka by disregarding their background. Me contohnya.
4. Business
case yang susah. Harus diakui memang business case yang diberikan oleh McKinsey
cukup sulit karena mereka memberikan spesifik data dengan ukuran tertentu dan
diminta untuk memberikan solusi. Bisa di coba sendiri harus memberikan solusi
dalam waktu 2 menit in business matter.
Nah,
pengalaman interview di McKinsey dari mulai persiapan sampai selesai cukup
membuat jantung berdegup kencang. Interview dilakukan di Four Season Hotel,
Gatot Subroto. Semalam sebelumnya aku searching-searching tips untuk interview
di McKinsey, dan manager ini adalah orang india yang sedang ada project di
Indonesia. Untuk step by step persiapan akan di jabarkan di bawah ini:
1. Apply di
Career McKinsey langsung.
2. Siapkan CV
yang detail, this is actually no benchmark about detail. Just make sure aja
kalo orang baca CV mu bakal paham apa yang pernah kamu kerjakan. Bisa cek di
google cara membuat CV di konsultan, ada dan cukup detail supaya punya oit
standing point dan tell the recruiter that you are a detail oriented person.
3. Research:
baca-baca business case nya memang cukup membuat otak bekerja lebih keras,
mikir berkali kali maksud dari soal dan bagimana solusinya.
4. Interview
preparation: email invitation mereka sangat professional, detail dan helpful.
Bahkan mereka memberikan tautan link tentang bagaimana menghadapi interview di
McKinsey. Setelah melihat video nya, jujur aku semakin tenang. Di dalam video
tersebut disampaikan bahwa Interviewer di McKinsey itu sangat helpful, mereka
membantu mengarahkan alur pikiran kita ke pencarian solusi paling efektif dan
efisien bagi konsultan dan klien. Jadi, cerita-cerita orang di luar sana yang katanya
intimidatif itu tidak benar, sama sekali tidak benar.
5. Interview:
lokasi interview di restaurant Hotel. Dan waktu itu aku pakai baju rapi banget
tapi interviewer malah bilang kalau terlalu rapi, banyak info beredar bahwa
kalau mau interview di McKinsey harus pake jas, it doesn’t necessary kok
katanya. Sampai di tempat interview ditanya tentang background seperti biasa,
terus pertanyaan-pertanyaan yang menjurus ke business case. Waktu itu aku dapet
business case di industri Telekomunikasi, tentang optimasi budget perusahaan
dengan cara digitalization. Kurang lebih 1 jam interview dan impresi ku
terhadap interviewer adalah baik, helpful, dan tidak menakutkan sama sekali.
Malah dia yang nge direct kemana jalur pikiranku untuk memecahkan masalah bisnis.
Dan dia bilang “I need a specific thing from your mind, please make it route on
how you give a solution. Solution that you provide is matter, but the way you
think on your way to solution is more important.” Ternyata mereka mencari orang
yang tidak tiba-tiba menemukan solusi dari masalahnya, tetapi cara pola
berfikir orang dalam menyelesaikan masalah. Dan mereka minta dengan sangat
detail, betul-betul detail ketika mempertimbangkan solusi dari permasalahan
harus ada evidence atau data yang harus di provide. Ini sesi yang seru banget,
karena diskusi disini sangat menantang dan memecahkan satu per satu masalah
dengan melihat hal-hal kecil yang impactful.
6. Done.
Sangat ramah dan baik, jauh dari stigma orang-orang yang katanya intimidatif.
Bahkan beberapa kali di interview orang india, sepertinya interviewer ini
paling ramah dan paying attention to detail banget. Dan fokus.
Aku cuma mau bercerita bahwa sebetulnya limit-limit itu bisa di pecahkan
asal kita mau. Jangan percaya stigma-stigma di masyarakat kalau ingin A harus
mempunyai B. This is proven for me yang dari dulu selalu break limit standar
yang di buat oleh orang-orang yang bersangkutan. Be confidence, you are just
amazing what the way you are, really.
Post a Comment for "Pengalaman Interview Kerja di Mickinsey Indonesia"