Pengalaman Magang atau PKL Di KPAI Indonesia
Pendidikan Anak - (Pengalaman Magang KPAI)-Di
ruangan ini aku mendengar dan belajar; mengenai ragam duka yang dialami
beberapa anak di Indonesia. Dari sisi masalah kebijakan sekolah; pengasuhan
orang tua; hingga hak asuh yang tak jelas pada siapa.
Aku tahu semua memiliki korelasi; karena tak ada yang
bisa tumbuh dan berkembang sendiri dalam hidup ini.
Dan anak-anak, siapa yang akan membuatnya tegap
berdiri? Jika beberapa orang tua tak lagi peduli, dan sekolah tak lagi menjadi
tempat menuntut ilmu hakiki; yang memberi makna mengenai arti kehidupan itu
sendiri.
5 anak SMA dikeluarkan dari sekolah, karena diduga
terlibat tawuran katanya. Tapi tidak, aku takkan membahas kasus mereka. Fokusku
pada 1 anak yang orangtuanya tidak ikut hadir membela. Ibunya telah meninggal
dunia, dan ayahnya; kembali menikahi seorang wanita kemudian pergi entah
kemana. Membuat dia harus tinggal bersama seorang nenek yang sudah renta. “Jadi
bu Retno, selama dia nggak boleh masuk sekolah. Dia tetap ke luar rumah
menggunakan seragam dengan atribut lengkap beserta tas dan sebagainya.” Ucap
salah seorang wali yang menceritakan kisah teman anaknya.“ Kesalahan pada apa?
Jiwanya kah?
Lagi mengenai anak SMA yang memutuskan untuk
meninggalkan rumah dengan membawa raport dan akta. Menghampiri gedung
bertingkat; mungkin dia mengetahui informasinya dari kerabat. Entahlah yang
pasti dia hanya meminta pertolongan agar selamat. Ibunya korban KDRT, ayahnya
sering bertindak keras padanya. Kasihan sekali dia; tidak mau lagi dikembalikan
ke rumahnya; hingga lebih memutuskan untuk tinggal dirumah aman. Karena mungkin
baginya; rumah itu benar-benar memberikan ketenangan yang selama ini dia
rindukan.
Kasus selanjutnya. “Saya memang sibuk bekerja tetapi
saya sudah berusaha mendidiknya secara baik! Secara keras!” Ucap pria dengan
wajah nampak penuh amarah saat proses mediasi sedang berlangsung di hari
Selasa.
Dan banyak masalah lainnya yang terkait dengan
perilaku seorang ayah, yang mungkin sedari awal memang tidak miliki niatan
untuk menjadi seorang ayah. Atau hanya belum tahu bagaimana caranya. Entahlah,
aku tak mau sekadar menerka. Yang pasti banyaknya orang tua; terutama ayah;
yang mendidik anaknya secara keras.
Kulihat dari ruang ini nampak bahwa otoritas orang tua
memang diatas segalanya. Yah itulah realita yang dialami beberapa anak di
Indonesia.
Baikkah pengasuhan dengan keras itu?
Penelitian Master core brain menjelaskan bahwa “Satu
bentakan atau makian, mampu membunuh lebih dari 1 milyar sel otak. Dan satu
cubitan atau pukulan, mampu membunuh lebih dari 10 milyar sel otak. Belum lagi
proses imitasi seorang anak yang sangat pesat.
Jika fakta yang terjadi adalah mengenai sosok Ayah; yang pulang ke rumah; hanya
dengan membawa masalah perihal kerja; untuk diperdebatkan bersama istrinya;
yang sibuk memikirkan uang belanja ataupun janji setia; juga berbagai haknya
sebagai seorang wanita.” Yah ku kira.
Kalau begitu adanya; lantas bagaimana bisa anak
berpikir secara baik nantinya? Jadi sudah berapa banyak kerusakan sel yang
dialami? Sudah berapa banyak contoh buruk yang diperlihatkan dan diikuti?
Ingin rasanya bertutur kata untuk mewakili rasa hati
mereka. Yah! Anak-anak! Renungkanlah; andai saja mereka piawai dalam bicara;
maka kupastikan mereka akan berkata…
“Coba katakan apa yang salah jika seorang anak mendamba
cinta Ayahnya? Mengharapkan pelukan penuh kasih sayang; pujian; bimbingan dan
penjagaan.
Tapi apa yang kami rasa malah sebaliknya. Kami tidak
pernah merasa aman jika ada sosok Ayah telah tiba di rumah. Jangankan pujian
dan kasih sayang; bahkan sosok yang kami sebut Ayah itu tidak pernah mengerti
sebuah penghargaan melebihi uang. Dimatanya kebaikan ditimang-timang dari
besarnya rupiah yang di dapat.
Bimbingan yang seperti apa yang lebih pantas kami
pelajari melebihi contoh yang dapat kami ikuti sehari-hari dalam hidup kami?
Yah, melalui mata kami; telinga kami dan hati kami.
Saat apa yang kami lihat hanya pertengkaran; saat apa
yang kami dengar hanya cacian; tudingan dan saling menyalahkan. Saat perasaan
kami di liputi rasa kecewa yang teramat sangat menyiksa.
KEMANA KAMI HARUS PERGI DAN MENCARI?!
Pertanyaan itu yang selalu tertanam dalam benak kami.
Hingga kehidupan membawa kami pada hingar bingar yang sulit kami ukur antara
kebaikan dan keburukan karena tiadanya pengetahuan atas hal itu. Sekalipun
telah ada; rupa-rupanya berhasil ditutup dengan kecewa yang jauh lebih dulu
berakar dihati kami.”
Yah,
harus kemana mereka pergi dan mencari? Ayah, Ibu, harus kemana mereka mengadu?
Tak perlu sibuk bertanya Ibu, Ayah. Maka berkacalah saat anak bertindak tak
sesuai dengan nilai dan norma.
A child educated only at school is an uneducated
child. - Unknown
Picture : Ruang Rapat Lantai 1 KPAI (Taken by me)
Post a Comment for "Pengalaman Magang atau PKL Di KPAI Indonesia "